Di balik Frekuensi
Bercerita mengenai kisah 'Di balik Frekuensi' publik yang terjadi di Indonesia, film dokumenter ini mengajak publik untuk melihat apa yang kini tengah terjadi di dunia media di negara kita, khususnya berkenaan dengan media yang menggunakan frekuensi publik sebagai sarananya: televisi.
Setelah reformasi, dengan cepat konglomerasi media menjadi corak industri media di Indonesia dan semakin hari kita menyaksikan pola itu berkembang semakin pesat. Mencengkeram semakin dalam dan segera seolah menjadi darah dan daging yang menjalankan sistem operasi media di Indonesia. Ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang informasinya kita baca, kita simak, kita lihat, kita dengar setiap hari ternyata cuma dikendalikan oleh 12 group media saja. Group-group media dengan pemilik-pemiik yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri, membanjiri publik dengan tayangan-tayangan dalam kanal-kanal media milik mereka yang me-manisfestasi-kan kepentingan yang jelas bukan merupakan kepentingan publik.
Luviana adalah seorang jurnalis, telah bekerja 10 tahun di Metro TV, di-PHK kan karena mempertanyakan sistem manajemen yang tak berpihak pada pekerja, dan ia juga mengkritisi newsroom. Hari Suwandi dan Harto Wiyono adalah dua orang warga korban lumpur Lapindo yang berjalan kaki dari Porong - Sidoarjo ke Jakarta. Menghabiskan waktu hampir satu bulan demi tekad untuk mencari keadilan bagi warga korban Lapindo yang pembayaran ganti ruginya oleh PT Menarak Lapindo Jaya belum lagi terlunasi.
Melalui dua kisah tersebut, film dokumenter ini akan membawa kita pada perjalanan akan sebuah pencarian terhadap makna 'apa itu media'? Seperti apakah seharusnya media bekerja? Untuk siapakah mereka ada?
untuk lebih lengkapnya klik Behind The Frequency
0 Response to "Di balik Frekuensi"
Post a Comment