Ironi Demokrasi "INDONESIA"
Memasuki babak baru zaman reformasi, civil society berkembang pesat dengan dibuktikannya kebebasan berpendapat, pemilu diadakan dimana-mana karena merupakan hak sebuah konstitusi, tidak jarang ketika pemilu diadakan sebagian calon mengeluarkan gelontoran rupiahnya yang tidak sedikit, kesan didalam UU kita bahwa masyarakat memiliki hak untuk berhak menjadi pemimpin didaerahnya tidak dibarengi dengan kondisi materil yang dimiliki.
Konstitusi yang mengatur bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan sama dimata konstitusi dan dimata hukum karena memang Indonesia sebagai negara hukum. Konstitusi tersebut mengatur tentang sebuah pencalonan yang dilakukan untuk mendapatkan pemimpin yang baik lewat sebuah jalan yakni demokrasi sehingga setiap orang berhak memberikan suaranya atau berhak mencalonkan diri sebagai pemimpin.
Setiap musim pemilihan tiba, tidak heran sebagian daerah-daerah diindonesia disibukkan dengan hajatan 5 tahunan sekali yakni pemilihan calon bupati atau calon gubernur dan lain sebagainya . kerja keras beberapa calon untuk mendapatkan sorotan dimata public menjadi prioritas suara mereka untuk bisa menduduki kursi nomer 1 di daerah tersebut. Tidak heran jika ongkos untuk menjadi pemenang terkadang menjadi sangat mahal. Konstitusi yang mengatur bahwa warga negara berhak untuk maju atau mencalonkan diri sebagai pemimpin disebuah daerah memang sudah dianggap benar, namun hal itu menurut penulis sendiri hanya dilihat dari sudut pandang yang sempit. Dimasyarakat terdapat beberapa elemen berbeda , ada kaya ada miskin, ada warga desa juga ada warga kota, semuanya tersekat sekat oleh sebuah dimensi yang ada. Jika kita lihat bahwa konstitusi mengatur setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama namun tidak seharunya bahwa mekanisme tersebut memberatkan beberapa pihak yang dimana yang paling dirugikan adalah orang yang tidak memiliki akses untuk mengaksesnya.
Karena biaya yang dikeluarkan untuk menjadi orang nomor 1 didaerahnya mahal, maka tidak heran jika orang-orang yang maju dalam sebuah pemilihan tersebut adalah orang yang memiliki kekayaan melimpah, demokrasi yang berjalan sekarang dinegara kita dipenuhi oleh orang-orang yang ingin popular atau yang sudah popular dan memilih jalan menjadi pejabat sebagai titik aman bagi mereka. Jika latar belakang sebuah pemimpin adalah orang diatas rata-rata maka tidak heran jika ketika memimpin tidak merasakan penderitaan rakyat kecil,kebijakan yang dilakukan terkadang memandang sinis rakyat kecil dan hanya menguntungkan beberapa pihak yang bekerja didalamnya.sedikit sekali kita mendengar atau malah hal ini jarang terjadi yakni pemenang dalam sebuah pemilu berasal dari warga yang kurang mampu, kita terus berada dalam sebuah sistem yang tidak seimbang dan kapasitas calon yang disajikan terkadang dimata masyarakat tidak sesuai apa yang mereka harapkan. Hal inilah yang melatarbelakangi kenapa penulis sangat ingin menyoroti regulasi yang ada tidak dibarengi dengan aturan main yang selayaknya.
Bukan hanya itu, praktik politik yang menghawatirkan untuk melanggengkan kekuasaan yang dikatakan Praktik dinasti politik di Indonesia juga kerap kali terjadi. Pasalnya, kebanyakan dari penguasa hanya ingin melanggengkan oligarki kekuasaannya. Parahnya lagi bila lingkaran utama dari mereka pernah terjerat korupsi. Maka itu, pelanggengan kekuasaan harus dicegah.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sudjito mengatakan, praktik dinasti politik di negeri cenderung semakin tak sehat. Hal itu tercermin dalam pemilukada di berbagai daerah. Terbaru, ia merujuk pelaksanaan Pilgub Sumatra Selatan, yaitu majunya Maphilinda, istri mantan gubernur Sumsel Syahrial Oesman, yang maju sebagai calon wakil gubernur.
Padahal, Syahrial merupakan kepala daerah, yang pernah terjerat kasus korupsi. Meski secara politik berhak dicalonkan dan mencalonkan diri, namun dilihat dari fatsun politik, kurang layak diusung.
"Itu adalah contoh, bagaimana demokrasi Indonesia masih mengalami pendangkalan, saat etika tidak pernah menjadi dasar dalam berpolitik," ujar Arie kepada wartawan di Jakarta, Ahad (Repubilka 28/7).
Ia tidak kaget, lantaran selama ini begitu banyak aturan tentang pemilukada memang tak memiliki makna. Alhasil, persoalan etika tidak lagi menjadi perhatian utama masyarakat. "Publik dan pemilih terlalu apatis, bahkan sebagian besar pragmatis. Sehingga dinasti politik makin merajalela," kata Arie.
0 Response to "Ironi Demokrasi "INDONESIA""
Post a Comment