Pelayanan Publik
Pelayanan
Publik adalah segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai
dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa
dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
yang terkait dengan kepentingan publik. Penyelenggara Pelayanan Publik adalah
lembaga dan petugas pelayanan publik baik Pemerintah Daerah maupun Badan Usaha
Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik. Dengan Penerima Layanan
Publik adalah perseorangan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang
memiliki hak dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik.
Sedangkan
menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
Kep/25/M.Pan/2/2004 Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat
Unit Pelayanan Instansi Pemerintah . Pelayanan publik adalah segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan. [1]
Pelayanan
publik oleh aparatur pemerintah dewasa ini masih banyak dijumpai kelemahan
sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini
ditandai dengan masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan
melalui media massa, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap
aparatur pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani
masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas
pelayanan.
Masyarakat
yang merupakan pelanggan dari pelayanan publik, juga memiliki kebutuhan dan
harapan pada kinerja penyelenggara pelayanan publik yang profesional. Sehingga
yang sekarang menjadi tugas Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah adalah
bagaimana memberikan pelayanan publik yang mampu memuaskan masyarakat . Adanya
implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia yang
tertuang dalam UU tentang Pemerintahan daerah menyebutkan bahwa Pemerintah
mempunyai tanggung jawab, kewenangan dan menentukan standar pelayanan minimal,
hal ini mengakibatkan setiap Daerah (Kotamadya/Kabupaten) di Indonesia harus
melakukan pelayanan publik sebaik-baiknya dengan standar minimal.
Jakarta
sebagai ibukota negara Indonesia mempunyai posisi strategis yang menjadi pusat
kegiatan pemerintahan , pusat perekonomian dan menjadi bagian dari
kegiatan-kegiatan yang kompleks. Dengan posisi yang strategis tersebut, maka
wajar jika laju perkembangan ekonomi di Jakarta bergerak sangat pesat. Daerah
Khusus Ibukota Jakarta mempunyai luas wilayah ± 650 km2 atau ± 65.000 termasuk
wilayah daratan Kepulauan Seribu yang tersebar di teluk Jakarta [2]. Kondisi
penduduk Jakarta berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut hasil sensus
nasional terakhir, ibu kota dihuni oleh hampir 9,6 juta orang melebihi proyeksi
penduduk sebesar 9,2 juta untuk tahun 2025. Populasi kota ini adalah 4 persen
dari total penduduk negara, 237.600.000 orang[3].Dengan
angka-angka ini, kita dapat melihat bahwa populasi kota telah tumbuh 4,4 persen
selama 10 tahun terakhir, naik dari 8,3 juta pada tahun 2000.
Dengan
permasalahan daerah ibukota yang komplek akibat dari meningkatnya jumlah
penduduk baik bagi tingkat kelahiran maupun masyarakat pendatang menyebabkan
ruang gerak daerah DKI Jakarta menjadi semakin padat. Dengan demikian
permasalahan yang timbul akibat dari permasalahan tersebut adalah munculnya
pemukiman kumuh ditengah-tengah ibukota Jakarta .permasalahan tersebut semakin
hari semakin bertambah kompleks sehingga kesenjangan yang terjadi antara
penduduk miskin dengan kaya semakin lebar. Bagi penduduk miskin di ibukota
mungkin ketika menikmati pelayanan publik sangat merasakan tindakan
deskrimantif namun yang menjadi kesadaran masyarakat miskin ibukota tehadap
kesehatan juga kurang karena akses untuk menuju pelayanan yang optimal
sangatlah mahal sehingga hanya kalangan tertentu saja yang dapat menikmati
layanan tersebut.
Dengan kekuatan ekonomi dan posisi strategis
yang dimiliki DKI Jakarta, menjadikan ibukota ini mempunyai peran yang cukup
strategis dalam menentukan arah kebijakan pembangunan di Indonesia. Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan
salah satu bidang kewenangan penting yang harus dilakukan oleh pemerintah
daerah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pemerintah daerah yang
merupakan penyedia layanan publik, juga dituntut untuk mampu menghasilkan
pelayanan yang mampu memuaskan pelanggan dalam hal ini pelanggannya adalah
masyarakat (publik). Pelayanan publik
menjadi suatu tolok ukur kinerja pemerintah yang paling kasat mata. Masyarakat
dapat langsung menilai kinerja pemerintah berdasarkan kualitas layanan publik
yang diterima, karena kualitas layanan publik
menjadi kepentingan banyak orang dan dampaknya langsung dirasakan
masyarakat dari semua kalangan, dimana keberhasilan dalam membangun kinerja
pelayanan publik secara profesional, efektif, efisien dan akuntabel akan
mengangkat citra positif pemerintah DKI Jakarta di mata warga masyarakatnya.
Potret
kinerja Pemerintahan dalam pelayanan menyebutkan bahwa birokrasi pemerintah
telah gagal memberikan pelayanan efektif dan efisien kepada masyarakat, bahkan
telah berkembang praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Tugas
pelayanan publik yang diselenggarakan Pemerintah meliputi pelayanan primer
yakni merupakan pelayanan yang paling mendasar yakni pelayanan kesehatan dan
pelayanan pendidikan (Jazim Hamidi, 2001).
Sektor
kesehatan dan pendidikan adalah salah sektor yang sangat signifikan dan
berkaitan langsung terhadap kehidupan masyarakat, dimana pelayanan pemerintah
dalam hal kesehatan dan pelayanan dalam bidang pendidikan merupakan faktor yang
fatal mempengaruhi sumber daya manusia kedepannya. Karena itu pelayanan
pemerintah dalam kedua sektor ini harus diutamakan untuk dilakukan perbaikan
(Yaprita, 2005). PemProv DKI Jakarta sebagai penyelenggara layanan publik ingin
mengetahui tingkat kepuasan masyarakat dalam layanan primer ini , yakni layanan
kesehatan dan layanan pendidikan.
Salah
satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), perlu disusun studi mengenai kepuasan
masyarakat dan menyusun indeks kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur untuk
menilai tingkat kualitas pelayanan. Di samping itu data indeks kepuasan
masyarakat akan dapat menjadi bahan penilaian terhadap unsur pelayanan yang
masih perlu perbaikan dan menjadi pendorong setiap unit penyelenggara pelayanan
untuk meningkatkan kualitas pelayanannya.
Dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 menyatakan bahwa kebijaksanaan
sektor kesehatan antara lain meliputi arah pembangunan kesehatan dan
peningkatan perbaikan kesehatan masyarakat serta kualitas pelayanan kesehatan
(Aditama,2002). Perwujudan derajat kesehatan yang optimal melalui
penyelenggaraan pelayanan yang berkualitas merupakan salah satu hal yang perlu
mendapat perhatian. Sistem pelayanan kesehatan yang merata merupakan cara
penanganan agar setiap masyarakat dapat dengan mandiri memperoleh pelayanan
kesehatan.
Mutu
pelayanan kesehatan merupakan aspek penting yang dapat memberikan kepuasan
terhadap pasien, hal ini dapat menjadi
pendorong kepada pelanggan/pasien untuk menjalin ikatan yang kuat dengan pelayanan kesehatan yang disediakan.
Dalam jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan suatu instansi pelayanan
kesehatan memahami dengan seksama harapan dan kebutuhan (pasien). Kualitas yang
dihasilkan sama dengan nilai yang diberikan dalam rangka meningkatkan kualitas
hidup para pelanggan/pasien, semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin
besar pula kepuasan pelanggan (Tjiptono, 2001).
apalagi
bagi masyarakat Jakarta khususnya masyarakat tidak mampu yang sangat
membutuhkan perhatian pemerintah DKI Jakarta. Hal inilah yang saat ini disadari
betul oleh pemerintah DKI Jakarta untuk memberikan hak-hak warga DKI Jakarta
khususnya masyarakat yang dibawah garis kemiskinan untuk tetap mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memadai . untuk mencapai tujuan itulah Pemprov DKI
Jakarta berusaha mencipatkan , memperbaiki
pelayanan kesehatan dengan cara mengeluarkan kebijakan baru menerbitkan
kartu Jakarta sehat (KJS ). Sasaran dari program KJS ini adalah seluruh
penduduk DKI Jakarta yang mempunyai KTP
/ Kartu Keluarga DKI Jakarta dan yang belum memiliki jaminan kesehatan, diluar
program Askes, atau asuransi kesehatan lainnya untuk menikmati pelayanan kesehatan
terutama bagi keluarga miskin dan kurang mampu dengan sistem rujukan
berjenjang, sehingga harapannya untuk semua kalangan terutama bagi masyarakat
DKI Jakarta yang kurang mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan
gratis. Kebijakan ini mendapatkan respon yang baik bagi kalangan masyarakat
miskin di ibukota karena dengan adanya KJS kini masyarakat dapat mendapatkan
haknya sebagai warga DKI Jakarta yang kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang optimal dan tanpa biaya.
Dalam
program KJS ini ada beberapa aktor sebagai subjek kebijakan yang berperan
penting demi tercapainya tujuan program KJS yaitu Gubernur DKI Jakarta melalui
persetujuan anggota DPRD DKI Jakarta ,
PT Askes yang ditunjuk pemerintah untuk memberikan asuransi dan Rumah
sakit. Serta masyarakat DKI Jakarta yang menjadi objek dari kebijakan tersebut . Adanya sinergi dan kerjasama
antara stakeholder tersebut diharapakan
program KJS dapat dijalankan dan menghasilkan output yang diinginkan.
Seperti
contoh pelayanan yang dilakukan oleh rumah sakit yakni dengan melakukan
mekanisme pelayanan mengikuti alur bagi pasien rawat jalan seperti di bawah
ini.
Contoh
Alur Pelayanan Kesehatan Pasien Umum Rawat Jalan
Dengan
menggunakan perspektif CS yang definisinya adalah perspektif dan proses
organisasi yang berfokus pada tercapainya harapan pelanggan dengan melakukan
hal yang benar dan tepat pada saat pertama melakukannya. Hal ini didasarkan
pada konsep bahwa organisasi itu akan mencapai tujuannya secara efektif dan
efisien jika mampu membuat pelanggannya merasa puas. Sehingga para pasien
mendapatkan layanan baik itu layanan inti , layanan nyata dan layanan tambahan.
Perspektif Costumer service percaya
bahwa kerjasama dengan konsumen dan memberikan apa yang diinginkan oleh
konsumen itu lebih efektif dan efisien daripada berusaha untuk mendikte dan
mengontrol apa yang konsumen terima. Perspektif ini juga meliputi semua
karyawan dan semua fungsi dari organisasi.
Lingkup
dari perpektif ini meliputi konsep marketing , pelayanan , kualitas dan
logistik . konsep marketing memandang bahwa kunci dalam meraih keberhasilan
dari suatu organisasi adalah dengan memenuhi kebutuhan dan keinginan target
pasar serta memenuhi kepuasan konsumen secara lebih efektif dan efisien dari
pada pesaingnya. Konsep pelayanan mengidentifikasikan sebagai kebebasan dari
defisiensi , pemenuhan kebutuhan konsumen , serta penurunan variasi dan
menemukan apa yang diinginkan konsumen .sedangkan konsep logistik berfokus pada
proses dalam penambahan nilai-nilai positif.
Jika
dilihat demikian, perspektif ini dapat membuat sebuah organisasi menjadi lebih
peduli dengan lingkungannya ,yang juga meliputi para konsumennya . jika
diterapkan pada organisasi pemerintah ,misalnya rumah sakit pemerintah ,tentu
pelayanan yang diberikan rumah sakit akan terasa lebih responsive dan cepat
tanggap . konsumen juga akan merasa bahwa dirinya lebih diperhatikan dan
diperlakukan secara manusiawi , misalnya dengan memberikan pelayanan yang
disertai dengan senyuman/keramahan. Pemberian pelayanan yang menggunakan
perspektif ini juga dirasa akan membuat pelanggan merasa nyaman dengan
menggunakan layanan secara berkelanjutan , sehingga disisi lain juga akan
menguntungkan bagi pihak penyedia layanan tersebut.
Namun
perlu diingat kembali bahwa tujuan utama dari pelayanan publik adalah dengan
menciptakan pelayanan yang merata dan mengusung keadilan sosial. Jika
organisasi terus berusaha untuk memenuhi keinginan konsumennya yang sangat
variatif tanpa menghiraukan adanya standar yang harus ditetapkan pada tiap
organisasi , maka pemerataan pelayanan akan sulit untuk dicapai . Pada dasarnya
, pemerataan pelayanan akan lebih mudah dicapai jika adanya standarisasi dalam
menangani para konsumen. Namun, standarisasi pelayanan akan lebih sulit disusun
jika harus mengikuti keinginan konsumen yang variatif.
Sedangkan
konsep marketing yang berorientasi pada pasar dalam perspektif ini , bisa
menjadikan lahan untuk komersialisasi pelayanan , sehingga justru akan terjadi
konsep “ hanya yang mampu membayarlah yang akan memperoleh pelayanan “. Dengan
demikian ,keadilan sosial dalam memperoleh pelayanan pun tidak akan dirasakan
oleh kelompok-kelopok tertentu , seperti kalangan bawah atau minoritas .
misalnya saja dalan kasus rumah sakit . Rumah sakit yang cenderung mengikuti
perkembangan pasar tertentu akan terus berinovasi dengan mengutamakan kepuasan
pelanggannya . Akan tetapi , karena tujuan telah berubah menjadi berorientasi
pada pasar , pihak rumah sakit pun akan cenderung memilih-milih manakah target
konsumen mayoritas yang dapat diberikan pelayanan yang sangat memuaskan.
Jika
melihat kondisi diindonesia , penentuan costumer sering kali lebih condong
kepada kelompok yang memiliki daya untuk memperoleh pelayanan. Organisasi yang
saat ini mulai condong ke market oriented
cenderung mengelompokan costumernya pada kelompok yang dominan , yakni yang
memiliki uang untuk memperoleh layanan . Dengan demikian , kelompok yang
minoritas pun akan tergeser dan bahkan tidak dianggap keberadaanya sebagai
costumer.
Berikut
adalah kelebihan dan kekurangan perspektif Costumer
Service :
1.
Responsive
dan cepat tanggap
Karena
perspektif ini memandang bahwa pasien adalah pelanggan maka pelayanan yang
disajikan akan sesuai apa yang mereka butuhkan. Pelayanan yang memuaskan akan
sangat berguna bagi keberlangsungan suatu organisasi tersebut. Karena demi
terciptnya keberlangsungan atau ke eksistensian suatu organisasi menjadikan
servis sebaik mungkin untuk menjadi senjata andalan bagi keberlangsungan
organisasi . Hal ini berbeda dengan yang dilakuakan oleh Rumah Sakit Pemerintah
dalam hal meberikan pelayanan seperti terlihat ala kadarnya tanpa memperhatikan
aspek kepausaam pelanggan, sehingga kepuasaan terhadap pelayanan masih jauh
dari apa yang diharapkan.
2.
Humanisasi
Dengan
pelayanan yang diberikan secara maksimal dan optimal terhadap para pasien yang
menggunakan pelayanan rumah sakit maka aspek kemanusiaan tersebut sangat
diperahatikan. Hal ini tidak lain karena pelanggan merupakan income bagi suatu
organisasi. Sehingga memberikan pelayanan yang maksimal. Memberikan aspek yang
dibutuhkan baik dari pelayanan inti , layanan nyata dan layanan tambahan.
3.
Mengutamakan
kepuasan pelanggan
Karena
jalan satu-satunya adalah dengan meberikan pelayanan secara maksimal kepada
para pasien maka kepuasaan menjadi salah satu aspek yang sangat penting bagi
keberlangsungan para pemberi pelayanan. Hal
ini kadang tidak terjadi di pelayanan rumah sakit yang notabene-nya adalah
rumah sakit pemerintah karena aspek kepuasaan pelanggan masih jarang dilakukan
oleh para pemberi layanan
4.
Terbatasnya
akses bagi sebagian kelompok
Karena
mengutamakan kepuasaan pelanggan dengan memaksimalkan pelayanan yang diberikan
sehingga wajar saja apabila siapa yang mampu membayar lebih maka mereka akan
mendapatkan pelayanan maksimal, berbeda dengan seseorang yang tidak mempunyai
daya yang lebih mereka akan mendapatkan pelayanan yang seadanya karena rumah
sakit lebih mempertimbangkan pasien yang mempunyai daya lebih daripada yang
tidak mempunyai daya. Hal ini menyebabkan akses terhadap warga yang tidak
memiliki daya lebih tidak bisa menikmati pelayanan maksimal yang diberikan oleh
rumah sakit tersebut dan hanya mendapatkan pelayanan yang ala kadarnya. Bagi
sebagian kelompok mendapatkan pelayanan yang optimal sangat sulit untuk
didapatkan karena keterbatasan daya dan hanya golongan tertentu yang dapat
menikmati layanan tersebut. Hal ini meskipun ada kebijakan baru tentang KJS
namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan terbatasnya akses untuk memperoleh
pelayanan secara optimal dengan hanya mendapatkan pelayanan pada kelas 3 tanpa
memperoleh pelayanan yang lebih.
5.
Deskriminasi
pelayanan
Karena
memandang sebagian pasien yang mempunyai daya saja yang menjadi kelompok
mayoritas sebagai sumber pendapatan sebuah instansi maka tidak heran banyak
sekali terjadi deskriminasi pelayanan yang dilakukan. Jika melihat rumah sakit
yang memandang bahwa pasien adalah pelanggan. Maka pasien yang mempunyai daya
lebih dapat dengan mudah untuk mengakses pelayanan tersebut.Berbeda dengan kaum
minoritas yang menjadi terpinggirkan karena tidak dapat mengakses pelayanan
tersebut. Meskipun sudah ada kebijakan tentang Kartu Jakarta sehat namun hal
tersbut hanya mampu menikmati layanan pada kelas 3 saja, sedangkan pelayanan
yang maksimal belum sepenuhnya didapat.
Jika
pola ini diterapkan dalam sistem pelayanan terhadap program KJS maka sebagai
pelaksana kebijakan yang dimana aktornya adalah rumah sakit yang ada di DKI
Jakarta maka prinsip tersebut harus mampu di lakukan pada standar pelayanan
yang ada.Pelayanan yang dilakukan meskipun itu rumah sakit swasta harus mampu
memberikan pelayanan inti , pelayanan tambahan dan pelayanan tambahan terhadap
para pasien KJS. Karena program tersebut bertujuan memberikan akses
seluas-luasya bagi masyarakat yang selama ini tidak mendapatkan akses pelayanan
kesehatan yang memadai.
Namun
jika dilihat dalam perspektif Costumer
Service yang dimana orientasinya pada kepuasaan terhadap pelanggan, program
KJS ini masih jauh dari harapan . Meskipun dalam aspek keterbukaannya akses
bagi masyarakat miskin sudah sangat baik dan mendapatkan dukungan oleh masyarakat
luas. Program ini mendapatkan pertentangan oleh pihak yang dirugikan dalam hal
ini rumah sakit yang menjadi aktor pelaksana terhadap kebijakam tersebut.
Karena pembiayaan yang disubsidi pemerintah masih jauh dari kebutuhan rumah
sakit sendiri terutama rumah sakit swasta yang biaya operasionalnya dibebankan
dari income yang diperoleh oleh para pasien.
Karena
Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) tidak dipungut biaya sedangkan prinsip dalam
perspektif Costumer Service
mengutamakan kepuasaan pelanggan yang dimana pelayanan dapat di beli bagi yang
mempunyai daya lebih maka pelayanan KJS jauh dari prinsip Costumer Service . Karena kenapa? Program KJS hanya mendapatkan
pelayana kelas 3 sedangkan pelayanan optimal dilakukan oleh kelas VIP atau VVIP
sehingga hanya sedikit orang yang dapat mengakses layanan tersebut.
Maka
jelas bahwa terjadinya pengkotak-kotakan dengan sisten pelayanan yang dilakukan
para pemberi layanan kesehatan terlebih lagi pelayanan yang dilakukan oleh
rumah sakit swasta , meskipun telah melaksanakan program yang diberlakukan oleh
Pemprov DKI Jakarta namun terkadang kita tidak memungkiri bahwa terjadi
pergolakan terhadap rumah sakit swasta terhadap kebijakan dilakukan oleh
pemprov DKI Jakarta karena kepentingan
mereka telah dicampuri. Maka jelas jelas sangat merugikan mereka yang tujuan
utamanya adalah profit demi keberlangsungan oganisasinya.
Kesimpulannya
adalah bahwa pespektif Costumer Service
sangat baik di terapakan demi terciptanya kepuasaan pelanggan , namun pada
akhirnya setiap perspektif memiliki kekurangan dan kelebihan dan pada akhirnya akan
terjadi pengkotak-kotakan pelayanan yang diberikan namun hal itu tidak menjadi
masalah bagi sebagian orang yang mempunyai daya lebih. Pelayanan secara maksmal
yang diindiinginkan masyarakat sudah
dianggap cukup meskipun harus mengeluarkan daya lebih. Pelayanan KJS
terhadap pasien miskin juga terkadang tidak memenuhi standar pelayanan minimal
karena diakibatkan tenaga pelayan yang dianggap kurang dan membludaknya pasien
. Rumah sakit swasta yang dimana menjadi aktor terhadap kebijakan KJS belum
sepenuhnya memberikan pelayanan secara prima dikarenakan pasien warga miskin
terus menerus membludak tanpa di barengi dengan sumber daya yang memadai. Karena
Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) tidak dipungut biaya sedangkan prinsip dalam
perspektif Costumer Service
mengutamakan kepuasaan pelanggan yang dimana pelayanan dapat di beli bagi yang
mempunyai daya lebih maka pelayanan KJS jauh dari prinsip Costumer Service . karena Program KJS hanya mendapatkan pelayana kelas 3
sedangkan pelayanan optimal dilakukan oleh kelas VIP atau VVIP sehingga hanya
sedikit orang yang dapat mengakses layanan tersebut.
Daftar Pustaka
Barata, Atep. 2004. Dasar- dasar Pelayanan Prima. Jakarta : Elex Media. Komputindo
George
D. Wagenheim and John H. Reurink . Public
Administration Review, Vol. 51, No. 3 (May - Jun., 1991)
Mubyarto
. 2000. Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca krisi Ekonomi .
Yogyakarta : Aditya Media
Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 Response to "Pelayanan Publik"
Post a Comment